Jakarta, CNBC Indonesia – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali selama dua hari yang telah berakhir pada 16 November 2022 lalu menghasilkan sebuah deklarasi yang dinamai G20 Bali Leaders’ Declaration.
Dokumen deklarasi yang mencapai 1.186 halaman ini salah satunya berisi tentang kesepakatan G20 untuk merasionalisasi, hingga menghapuskan subsidi energi fosil yang cenderung mendorong pada konsumsi energi yang boros dan membebani keuangan negara.
Hal ini sesuai dengan komitmen yang telah dicetuskan sejak deklarasi di Pittsburgh, Amerika Serikat pada 2009 lalu.
Berikut isi poin ke-12 dalam deklarasi tersebut:

“Kami menegaskan kembali komitmen kami untuk mencapai target SDG 7 dan berupaya menutup kesenjangan dalam akses energi dan untuk memberantas kemiskinan energi. Menyadari peran kepemimpinan kami, dan dipandu oleh Bali Compact dan Peta Jalan Transisi Energi Bali, kami berkomitmen untuk mencari solusi untuk mencapai stabilitas pasar energi, transparansi, dan keterjangkauan. Kami akan mempercepat transisi dan mencapai tujuan iklim kita dengan memperkuat rantai pasokan energi dan keamanan energi, dan diversifikasi bauran dan sistem energi.”
“Kami akan dengan cepat meningkatkan penyebaran pembangkit listrik nol dan rendah emisi, termasuk sumber daya energi terbarukan, dan langkah-langkah untuk meningkatkan efisiensi energi, teknologi pengurangan serta teknologi penghilangan emisi, dengan mempertimbangkan keadaan nasional. Kami menyadari pentingnya untuk mempercepat pengembangan, penyebaran teknologi, dan penerapan kebijakan, menuju transisi menuju sistem energi rendah emisi, termasuk dengan dengan cepat meningkatkan penyebaran pembangkit listrik bersih, termasuk energi terbarukan, seperti serta langkah-langkah efisiensi energi, termasuk upaya percepatan menuju penurunan bertahap penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik, sejalan dengan kondisi nasional dan mengakui kebutuhan akan mendukung transisi yang adil.”
“Kami akan meningkatkan upaya kami untuk mengimplementasikan komitmen yang dibuat pada 2009 di Pittsburgh untuk menghapus dan merasionalisasi, dalam jangka menengah, ketidakefisienan subsidi bahan bakar fosil yang mendorong konsumsi yang boros dan berkomitmen untuk mencapai tujuan ini, sambil memberikan dukungan yang ditargetkan untuk negara yang paling miskin dan paling rentan.”
Upaya pemangkasan subsidi bahan bakar fosil ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menjalankan energi rendah karbon atau transisi energi, sehingga bisa mengurangi dampak perubahan iklim global.
“Kami akan mempercepat transisi dan mencapai tujuan iklim kita dengan memperkuat rantai pasokan energi dan keamanan energi, dan diversifikasi bauran dan sistem energi. Kami akan dengan cepat meningkatkan penyebaran pembangkit listrik nol dan rendah emisi, termasuk sumber daya energi terbarukan, dan langkah-langkah untuk meningkatkan efisiensi energi, teknologi pengurangan emisi, serta teknologi penghilangan emisi, dengan mempertimbangkan keadaan nasional.”
Kendati demikian, upaya pelaksanaan transisi energi atau energi rendah karbon ini dinilai perlu dukungan bersama, terutama dari negara-negara maju. Pasalnya, ini juga akan terkait dengan harga energi yang terjangkau di masing-masing negara.
“Kami akan memperkuat kerja sama internasional, serta dialog produsen-konsumen yang relevan mengamankan keterjangkauan dan aksesibilitas energi dengan membatasi volatilitas harga energi dan meningkatkan teknologi yang bersih, aman, inklusif, dan berkelanjutan, termasuk mengembangkan kawasan interkoneksi energi.”
“Kami berkomitmen untuk mempromosikan investasi secara berkelanjutan infrastruktur dan industri, serta teknologi inovatif dan berbagai kebijakan fiskal, mekanisme pasar dan regulasi untuk mendukung transisi energi bersih, termasuk, jika sesuai, penggunaan mekanisme harga dan non-harga karbon dan insentif, sementara memberikan dukungan yang ditargetkan untuk yang paling miskin dan paling rentan.”
Seperti diketahui, Indonesia sendiri termasuk salah satu negara dengan subsidi energi fosil, utamanya Bahan Bakar Minyak (BBM) paling “bengkak”. Bahkan, tahun 2022 ini saja subsidi dan kompensasi energi, baik BBM dan listrik diperkirakan bisa mencapai Rp 502,4 triliun.
Perkiraan besaran subsidi dan kompensasi energi tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden No.98 tahun 2022 tentang Revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Jumlah perkiraan subsidi hingga akhir 2022 ini melonjak dari perkiraan awal di APBN 2022 sebesar Rp 152,5 triliun. Adapun jumlah subsidi dan kompensasi Rp 502,4 triliun tersebut terdiri dari subsidi Rp 208,9 triliun, di mana subsidi BBM dan LPG Rp 149,4 triliun dan subsidi listrik Rp 59,6 triliun.
Lalu, kompensasi hingga akhir 2022 diperkirakan mencapai Rp 293,5 triliun, di mana kompensasi BBM diperkirakan mencapai Rp 252,5 triliun dan kompensasi listrik Rp 41 triliun.
Lonjakan subsidi dan BBM ini tak terlepas dari lonjakan harga minyak mentah dunia yang sempat bertahan di atas US$ 100 per barel selama beberapa bulan sejak perang Rusia-Ukraina meletus pada 24 Februari 2022 lalu. Sementara asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) pada 2022 “hanya” US$ 63 per barel.
Bila pemerintah tidak mengendalikan subsidi dengan menaikkan harga BBM di dalam negeri, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat mengungkapkan bahwa subsidi energi RI hingga akhir tahun ini bisa melejit hingga Rp 698 triliun. Akhirnya, pada 3 September 2022 lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memutuskan untuk menaikkan harga jual BBM subsidi jenis Solar subsidi dan Pertalite (RON 90), bahkan harga BBM non subsidi jenis Pertamax (RON 92) yang dijual PT Pertamina (Persero).
(wia)
Sumber: cnbcindonesia.com