Cinta di Kaki Semeru

Bagikan ke Media Sosial kamu

Oleh: SETYO MULYADI

RATUSAN, bahkan ribuan orang di Lumajang hari-hari belakangan ini mengetuk nurani kolektif kita untuk bergegas mengulurkan tangan. Itu kenyataan. Di tengah perasaan pilu itulah, sebuah gerakan energi bawah sadar mengajak saya untuk mencari teduh justru dengan sedikit berimajinasi: siapa gerangan orang besar yang lahir ketika Semeru mempertontonkan paras murkanya?

Terkenang cerita tentang letusan Gunung Kelud. Letusan yang pastinya dahsyat dan menggemparkan makhluk itu seakan menyambut kelahiran seorang tokoh besar. Kusno, yang kelak dikenal masyhur dengan julukan Bung Karno, adalah namanya. Pijar api dari kawah Kelud laksana pesta kembang api kelas wahid bahwa sejarah bangsa ini akan berubah di tangan para pendiri bangsa antara lain Bung Karno. Dialah salah satu nama besar di jajaran pendiri Republik Indonesia, yang ‘pantang mundur selangkah, pantang berkisar sejari’ mempersatukan seluruh rakyat Hindia Belanda, dan menjelmakannya sebagai rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tenyata bukan sekali itu saja Gunung Kelud menjadi momen mayestik penanda kelahiran figur besar. Berabad-abad sebelum Bung Karno tampil ke muka bumi, Gunung Kelud juga menyemburkan bara magmanya saat menyambut kelahiran bayi bernama Hayam Wuruk. Dia kelak menjadi raja keempat Majapahit dengan julukan Sri Rajasanagara.

Pesan penting

Para sejarawan mencatat, Hayam Wuruk sebagai raja yang berhasil membawa Majapahit ke puncak kejayaannya. Niscaya, mirip dengan Bung Karno, hanya orang dengan gelora yang menyala-nyala yang sanggup melakukan penaklukan dari satu negeri ke negeri berikutnya, hingga gemilang mengikat seluruh tanah, air, dan udara Nusantara.

Terus terang, meski tak pernah berhasil menemukan hukum kausal antara letusan gunung dan kelahiran sosok agung, saya menikmati kisah tentang Hayam Wuruk dan Bung Karno di atas. Apakah Tuhan benar-benar mengirim pesan sukacita ke seluruh anak bangsa lewat sebuah peristiwa alam yang faktanya mendatangkan dukacita? Pertanyaan ini tak pernah berhasil saya jawab.

Barangkali, kelahiran dan bencana alam lebih tepat dibingkai sebagai dua narasi yang berjalan paralel, bukan linear. Dalam bahasa metode riset psikologi, keduanya sebetulnya bertautan secara korelasional. Tinggal lagi ‘persoalan’-nya adalah apakah korelasi itu bersifat kebetulan atau memang sabda alam.

Anggaplah bahwa kisah Gunung Kelud, Hayam Wuruk, dan Bung Karno tak lebih dari sebatas mitos. Namun, sambil lesehan beralaskan tikar plastik di salah satu kamp pengungsi erupsi Gunung Semeru, saya merasakan betul bagaimana mitos itu begitu jauh dan lembut merasuk ke dalam sukma. Mitos membuat bencana alam tidak lagi terpotret semata-mata sebagai kejadian suram. Sebaliknya, mitos justru membawa batin saya begitu dekat ke alam persada dan Tuhan yang Maha Menciptakannya.

Teryakinkan saya bahwa inilah pesan penting sekaligus indah yang sudah selayaknya terus diwariskan kepada anak cucu di belahan bumi yang dijuluki sebagai ‘Negeri Cincin Api’ ini.

Indonesia adalah negeri yang kaya. Bentangan alamnya spektakuler. Ada potensi kekayaan alam yang patut disyukuri. Pada saat yang sama, ada potensi bencana alam yang tetap perlu diwaspadai. Tambahan lagi seperti kata riset: masyarakat dunia hari ini mengalami bencana alam tiga kali lebih sering daripada orang-orang yang hidup beberapa tahun silam. Apakah itu pertanda bumi kian tidak stabil? Apakah alam raya tak lagi bersahabat dengan kita? Jawabannya ada pada lirik lagu gubahan Ebiet G Ade, ‘Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang’.

Trauma healing

Melalui dongeng-dongeng berbau mitos, anak-anak kita pun perlu senantiasa diingatkan akan kedahsyatan Tanah Air mereka. Dahsyat berkat segala kekayaan dan kerawanannya. Dari situlah pantas kita berharap bahwa pada diri anak-anak, betapa pun sempat berduka setelah diterpa bencana, senantiasa terpahat rasa cinta kepada nusa bangsa. Kecintaan itu menjadi suasana batin yang mendasari setiap langkah anak-anak untuk memanfaatkan segala pemberian Tuhan demi kemanfaatan sebanyak-banyaknya bagi umat manusia.

Dengan perantaraan mitos pula, seperti legenda Gunung Kelud tadi, anak-anak akan memperoleh pelajaran mengasyikkan tentang harapan. Bahwa satu peristiwa alam yang sepintas menakutkan, bahkan menyakitkan, sesungguhnya membawa benih bagi masa depan. Contoh konkretnya tak lain adalah timbunan debu vulkanis Gunung Semeru sendiri. Hingga sekian waktu ke depan, sejumlah desa di seputaran Gunung Semeru memang hanya akan tampak serba abu-abu. Beberapa sanak keluarga pun pergi memenuhi panggilan Allah Sang Pencipta. Namun, pastinya, kelak desa-desa tersebut akan menjadi bentangan tanah yang subur. Subur tanahnya, bahagia warganya. Itu sesungguhnya bukan kata saya. Tuhan sendiri yang punya janji, ‘di balik kesempitan ada kemudahan’, dan janji itu pasti Dia tepati.

Selanjutnya, melakukan trauma healing di Lumajang merupakan penugasan besar pertama yang saya jalani setelah negara memercayai saya menjadi guru besar. Sempat terlintas di hati saya, apakah penganugerahan gelar itu merupakan lonceng rehat yang harus saya penuhi? Bersyukur, ternyata tidak demikian. Gunung Semeru menjadi panggilan dengan suara nyaring bahwa saya, bersama para pekerja kemanusiaan lainnya, belum boleh berhenti.

Selanjutnya, melakukan trauma healing di Lumajang merupakan penugasan besar pertama yang saya jalani setelah negara memercayai saya menjadi guru besar. Sempat terlintas di hati saya, apakah penganugerahan gelar itu merupakan lonceng rehat yang harus saya penuhi? Bersyukur, ternyata tidak demikian. Gunung Semeru menjadi panggilan dengan suara nyaring bahwa saya, bersama para pekerja kemanusiaan lainnya, belum boleh berhenti. (Penulis adalah Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, Ketua Umum LPAI (Lembaga Perlindungan Anak Indonesia)

Sumber: Mediaindonesia.com


Bagikan ke Media Sosial kamu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *