Anyam Noken: Dibalik Peluang, Ada Ancaman Pergeseran Nilai Sosial & Budaya!

Bagikan ke Media Sosial kamu

Oleh: Veronika Triariyani Kanem

Noken sebuatan popular untuk sebuah  tas anyaman asli Papua yang terbuat dari bahan alami yang berasal dari serat kayu, akar kayu atau serat anggrek hutan. Noken kini telah dikenal oleh masyarakat luas bahkan masyarakat dunia. Selain memiliki nilai fungsional sebagai wadah untuk mengisi bahan makanan, kayu bakar, binatang peliharaan atau bayi, noken memiliki nilai budaya yang melekat dalam keseharian hidup orang Papua.

Pada tanggal 4 Desember 2012, UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organisation) menetapkan noken sebagai salah satu warisan budaya tak berbenda dari Indonesia. Mengapa noken masuk dalam kategori warisan budaya tak berbenda? Jawabannya karena noken bukanlah tas atau kantong biasa, melainkan sebuah tas traditional yang sarat akan nilai budaya, salah satunya noken memiliki sebuah  nilai persahabatan dan  persaudaraan.

*Gifting (Memberi)

Seorang international scholar bernama Trompf (1999) mengatakan bahwa masyarakat yang mendiami pulau New Guinea tidak bisa terlepas dari budaya memberi dan menerima (give and take). Memberi atau menghadiahi (gifting) memiliki sebuah tatanan nilai sosial yang cukup tinggi dalam tatanan hidup masyarakat Papua dan tidak dapat ditukar dengan uang. Dalam konteks ini, noken tidak dipandang sebagai sebuah komoditas yang dapat dijual. Kalau proses jual beli barang di pasar akan memperlihatkan hubungan sementara antara para penjual, pembeli dan objek yang akan dibeli. Dan tentunya setelah proses jual beli, tidak ada lagi hubungan atau koneksi antara penjual dan pembeli.

Hal ini tentunya menjadi sangat berbeda dengan gifting yang membentuk sebuah hubungan antara si pemberi hadiah dan penerima hadiah yang bersifat permanent (Strathern, 1988). Biasanya, noken dihadiahkan kepada seseorang atau kelompok tertentu yang masih memiliki  kekerabatan hubungan darah atau kontak dekat (close contact) seperti anggota keluarga, sahabat, dan rekan kerja. Pemberian noken tersebut bermaksud untuk mengikat atau mempererat hubungan atau tali persaudaraan. Contohnya, seorang mama yang akan menganyam sebuah noken dan menghadiahkannya kepada sang anak yang hendak pergi ke kota untuk menuntut ilmu. Noken tersebut akan selalu dipakai sebagai pengingat dikala sang anak rindu akan keluarga atau kampung halamannya. Sama halnya dengan memberi noken ke seorang tamu yang datang dari jauh, dengan harapan bahwa tamu tersebut kelak akan mengingat dan mengenang si pemberi noken tersebut.

Contoh lain datang dari negara tetangga, Papua New Guinea (PNG) yang juga memiliki tas rajutan yang sama dengan noken yang disebut bilum. Menurut seorang Antropolog, Maureen MacKenzie (1999), memberi atau saling tukar bilum dapat memperkuat rasa persaudaraan dan solidaritas. Ketika seorang perempuan menikah dan hendak pergi meninggalkan rumah orang tuanya, maka sahabat-sahabat perempuannya masing-masing akan merajut bilum dengan corak khusus yang nantinya akan diisi dengan berbagai bahan makanan. Para sahabat kemudian akan berjalan bersama, mengantar si mempelai perempuan sambil mengendong bilum-bilum dipunggung mereka. Setibanya di rumah pihak laki-laki, bilum-bilum tersebut kemudian akan diserahkan kepada si mempelai perempuan dan suaminya.

*Perkembangan Noken Pasca UNESCO

Setelah noken ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO, tas anyaman ini mulai diminati oleh banyak orang dari berbagai kalangan. Dahulu, Mama-mama menganyam noken sebagai salah satu pekerjaan sampingan ditengah kesibukan sebagai ibu rumah tangga. Mereka menganyam noken sebagai contoh praktek budaya kepada anak-anaknya. Tetapi sekarang, sebagian besar Mama-mama mulai menjadikan kegiatan anyam noken sebagai mata pencaharian utama, karena nilai ekonomis dari sebuah noken yang cukup menjanjikan. Noken pun saat ini hadir dengan berbagai model, warna, dan ukuran untuk memenuhi permintaan pasar dan industri pariwisata.

Berbagai program pengembangan usaha mikro mulai ditawarkan baik oleh pemerintah maupun lembaga non-pemerintah guna mempermudah usaha Mama-mama pembuat noken. Bantuan-bantuan tersebut berupa bantuan modal usaha dan bangunan atau tempat untuk Mama-mama bergiat menganyam noken (Sahulteru & Hutubessy, 2020). Kegiatan anyam noken juga dianggap dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga dan diprediksi dapat mengurangi tingkat kemiskinan di Papua (Dewi et al.,  2018). Banyak dari Mama-mama Papua yang telah berhasil menyekolahkan anak mereka dari hasil penjualan noken.

Pergeseran Nilai Sosial Budaya

Melihat trend atau laju perkembangan aktivitas anyam noken di Papua saat ini, secara khusus di Kabupaten Merauke, beberapa study dan hasil pengamatan penulis langsung dilapangan mencatat bahwa telah terjadi pergeseran nilai. Pergeseran yang dimkasud ketika  Mama-mama saat ini lebih cenderung menganyam noken untuk dijual (commercial purpose). Nilai gifting atau memberi noken sebagai hadiah perlahan sudah mulai terganti nilainya dengan uang. Selain itu, tidak ada lagi waktu untuk Mama-mama mewariskan ilmu atau keahlian (skills) menganyam noken ke anak perempuan mereka. Mama-mama semakin giat dan sibuk mengejar target anyaman, agar hasilnya bisa segera dijual.

Fenomena lainnya ketika  generasi muda ( perempuan ) saat ini kurang tertarik untuk belajar menganyam noken dari bahan dasar serat kayu karena mereka lebih suka menggunakan benang atau nelon sebagai bahan dasar utama yang dianggap lebih praktis. Beberapa anak-anak perempuan takut kalau proses memintal serat kayu di paha atau kaki dapat mencabut keindahan bulu-bulu kaki mereka. Di wilayah perkotaan, orang muda lebih cenderung menghabiskan banyak waktu di sekolah, kampus, tempat kerja, atau bermain media sosial sehingga tidak punya banyak waktu untuk belajar menganyam noken (Kanem & Norris  2018, Sahulteru & Hutubessy, 2020). Sebagian dari mereka bahkan beralih menggunakan tas modern ketimbang noken.

Di daerah perkampungan atau distrik, banyak orang tua yang mengirim anak mereka ke kota untuk melanjutkan pendidikan. Terpisah dari orang tua, kampung halaman dan sumber daya alam, anak-anak tersebut mulai meninggalkan praktek budaya anyam noken. Kesibukan kuliah membuat sebagian remaja perempuan tidak punya waktu lagi untuk memegang jarum dan benang. Sebenarnya, hati mereka rindu untuk kembali bermain dengan pintalan benang, tetapi karena beban kuliah yang semakin berat, membuat mereka terpaksa berhenti menganyam.  Ketika liburan Natal dan Tahun Baru, mereka akan pulang ke kampung dan baru bisa kembali menganyam noken (diskusi personal dengan Dometria, Mahasiswa Stisipol Yaleka Maro, 2017).

Persoalan lain yang ditemukan adalah belum banyak sekolah yang memasukan mata pelajaran anyam noken kedalam kurikulum sekolah. Padahal, dalam Nominasi File No.00619 tahun 2012,  UNESCO menjelaskan salah satu upaya pemeliharaan budaya anyam noken di Papua (safe guarding) adalah dengan memasukan noken kedalam kurikulum sekolah sebagai salah satu konten lokal.

Perubahan lain yang cukup signifikan dapat terlihat dari penggunaan bahan dasar dan tools atau alat yang dipakai untuk menganyam noken. Bahan dasar yang berasal dari serat kayu atau akar pohon kayu semakin susah didapat dan sangat mahal harganya. Sebagai contoh, Mama-mama dari suku Muyu dan Mandobo yang sudah lama menetap di kota Merauke harus memesan serat kayu Genemo dari Kabupaten Boven Digoel atau beberapa kampung di daerah perbatasan Papua New Guinea. Satu ikatan kecil biasa dibeli dengan harga Rp 10.000 – Rp 15.000, belum lagi membayar jasa penitipan mobil Hillux (diskusi personal dengan Mama Theresia).

Di ibu kota Provinsi, Jayapura, karena susah dan mahalnya serat kayu asli, maka hampir sebagian besar Mama-mama disana beralih menggunakan benang sintetis (Sahulteru & Hutubessy, 2020). Selain murah harganya, benang-benang tersebut gampang ditemukan di pasar atau di toko. Sementara jarum sulam yang dipakai saat ini sudah cukup modern. Biasanya Mama-mama akan memodifikasi besi payung yang sudah rusak untuk dijadikan sebagai jarum sulam noken (diskusi personal dengan Mama Theresia). Dulu, sebelum ada besi atau metal, masyarakat kepulauan New Guinea menggunakan bambu atau tulang binatang sebagai alat perajut yang didesain secara tradisional (MacKenzie, 1999).

Seiring waktu berjalan dan tanpa kita sadari, perubahan penggunaan material dasar pembuatan noken dari serat alami ke benang sintetik telah merubah makna filosopis noken, dimana apa yang diambil dari alam, suatu saat akan kembali lagi ke alam. (Penulis adalah seorang  Doctoral Candidate, Jurusan Māori dan Pacific Studies, The University of Auckland, New Zealand)

Orang Papua percaya bahwa noken yang sudah rusak, kelak akan terurai dan kembali ke tanah/alam (Marjanto, 2013, p. 25).

-SELAMAT HARI NOKEN 4 DESEMBER 2021-


Bagikan ke Media Sosial kamu

One thought on “Anyam Noken: Dibalik Peluang, Ada Ancaman Pergeseran Nilai Sosial & Budaya!

  1. Ulasan yang sangat menarik dan membuka wawasan.
    Noken yg di pakai bagi orang tua-tua muyu juga sering di sebut “Jowotang”
    Saya juga belum tahu detail maknanya.
    Hanya waktu kecil,biasa lihat tete simpan “ot”dalam noken yg disebut ” jowotang”
    Orang muyu kalo mo antar anak perempuan masuk rumah laki2,biasanya anak perempuan tersebut pikul “noken” yang berisi hasil bumi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *